-->

Header Menu

HARIAN 60 MENIT | BAROMETER JAWA BARAT
Cari Berita

60Menit.co.id

Advertisement


Anggota DPRK Simeulue,Tidak Setuju PDKS Di Swastakan.

60menit.com
Sabtu, 16 Maret 2013

SIMEULUE - Kontra sekali dengan informasi teranyar yang berkembang. Ternyata kata Ketua Fraksi Karya Demokrasi Bintang Muda (F-KDBM) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Simeulue, Rahmad, SH tidak semua anggota DPRK setuju dengan langkah swastanisasi Perusahaan Daerah Kelapa Sawit (PDKS) itu.
 
Satu diantara yang tidak setuju dia sendiri. Karena pola bagi hasil  55 persen untuk pengusaha dan 45 bagi Pemerintah / PDKS selama kurun 15 sampai 20 tahun itu adalah kebijakan sangat-sangat merugikan daerah.
 
"Logikanya, masakan pemilik modal lebih besar dalam hal ini Pemerintah Simeulue / PDKS diberi bagian laba lebih kecil, ini kan sesuatu yang sulit diterima oleh akal sehat," jelas dia.
 
Belum lagi katanya proses penjaringan pihak ketiga / investor yang penuh intrik - ditutupi. Tidak transparan, tak diumumkan melalui media massa cetak lokal dan nasional bahwa ada pembukaan pendaftaran kerjasama / swastanisasi perusahaan milik daerah, dengan tenggang waktu massa pendaftaran sekian lama. Kemudian merincihkan syarat-syarat untuk ikut kompetisi itu. Misalnya, bla-bla-bla dan seterusnya.
 
Kebijakan itu jelas merugikan Simeulue, sedangkan untuk pelaksanaan proyek nilai Rp 200-an juta sebagaimana amanat undang-undang itu harus ditenderkan. Prinsip dasarnya diumukan secara luas yakni untuk tujuan menguntungkan daerah. "Ini asset pemerintah/PDKS sudah tertanam uang daerah Rp 200 Milyar lebih tidak diumumkan secara transparan, ada apa?" ujar Rahmad dengan nada bertanya.
 
Lebih lanjut kata dia sesungguhnya perkebunan sawit daerah itu adalah sumber PAD Simeulue yang potensial dimasa mendatang. "Pemikiran bodoh sajalah. Mungkinkah pengusaha mau tanam saham pada PDKS jika tidak menjanjikan keuntungan kedepannya. Kan tidak masuk akal, justru ada gambaran keuntungan jelas yang tampak maka para pihak bernapsu," ungkapnya lagi.
 
Lantas pertanyaannya kok kenapa selama ini belum menghasilkan secara kongkret bagi daerah. Jawaban persoalan itu sangat muda diurai oleh orang-orang cerdas.
 
Selain memang ada kelemahan pengelolaan manajemen PDKS di lapangan dan administrasi. Faktor utama karena belum adanya Pabrik Kelapa Sawit di Simeulue. Sehingga hasil produksi tidak efektif.
 
Akibat terbatasnya daya angkut ferry plus jauh jarak tempuh. Tandan Buah Sawit (TBS) PDKS hanya 18 persen yang bisa dijual  selebihnya membusuk. Lalu dari angka 18 persen penjualan TBS itu pula sekitar 70% uangnya untuk biaya transportasi. Ferry dan truk ke Pabrik yang ada didaratan Sumatera. "Dengan kondisi diatas memang tidak menguntungkan," jelas dia.
 
Solusi terbaik menjawab problem di atas. Ibaratnya seperti seseorang punya mobil Mewah lantas tersumbat pompa oli atau radiator. Mengatasinya tentu tidak harus menyerahkan kepemilikan mobil itu ke orang lain dengan nilai recehan. "Tapi cukup dengan membersihkan/filter atau membeli radiator baru," terang dia.

Keterbatasan dana APBK Simeulue saat ini hal itu sudah tidak bisa dijadikan alasan, kok selama pemerintahan sebelumnya bisa?. Apalagi baru-baru ini ketika dia menghadap Wali Nanggroe dan Gubernur melaporkan tentang hal di atas, kedua petinggi Aceh ini menganjurkan agar Bupati dan DPRK Simeulue membuat surat resmi soal kendala yang dihadapi.
 
"Artinya ini ada secercah harapan dari Pemerintah Provinsi untuk membantu penyelesaian persoalan di Simeulue," jelasnya. Ini peneutoh ureung chik yang sangat dimuliakan rakyat aceh sudah disampaikan Rahmad kepada Bupati dan Ketua DPRK Simeulue pada forum rapat antara Eksekutif dan Legislatif di ruang rapat gedung DPRK Simeulue pada tanggal 23 s/d 24 Oktober 2011. Tapi ini disambut pasif. "Meskinya agresif bertindak jemput bola terus. Tapi ini tidak, tentu ada apa itu," timpalnya lagi.
 
Melalui media dia menghimbau kepada semua pihak khususnya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat agar memantau hal ini. Perlu pengkajian mendalam. Soalnya langkah swastanisasi PDKS itu tidak saja merugikan keuangan daerah akan tetapi juga rentan munculnya konflik/bentrok kepemilikan lahan pada akhirnya antara masyarakat dengan pengusaha. Seperti kasus di Singkil, Subulusalam, Sumut dan kejadian di Lampung baru-baru ini.[MON]