-->

Header Menu

HARIAN 60 MENIT | BAROMETER JAWA BARAT
Cari Berita

60Menit.co.id

Advertisement


MAKNA PEMIMPIN YANG AMANAH DALAM ISLAM

60menit.com
Jumat, 08 Mei 2015


​Oleh : Zhovena
Bandung, 8-05-2015

Ada beberapan terma tentang kepemimpinan dalam sajarah panjang Islam di dunia ini, seperti amir (umaro), imam, khalifah ataupun  rais. akan tetapi dalam perkembangannya, terma-terma di atas hanya menjadi sebuah nama tanpa diketahui makna dan substansi yang sesungguhnya. oleh karenanya pada kesempatan saya ingin sekali mengajak kepada kita semua untuk melakukan kontemplasi secara mendalam dalam mengarungi amanah kepemimpinan di muka bumi ini. Berawal dari sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya :

Yang artinya : "Disampaikan kepada kami oleh Abu al-Yaman, kami diberitahu oleh Syu'aib dari al-Zuhri berkata, disampaikan kepadaku oleh Slim bin Abdullah dari Abdullah bin Umar ra. bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda; setiap kalian adalah pemimpin dan akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang imam adalah pemimpin dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang pria adalah pemimpin dan akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang pembantu adalah pemimpin terhadap amanah atasannya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya. Lanjutnya, dan seorang anak adalah pemimpin terhadap amanah orangtuanya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, maka kalian semua adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dipinta laporan pertanggungjawabannya." [HR. al-Bukhari]

Pembaca yang berbahagia, jika kita dalami isi hadits ini, sungguh begitu rinci Rasulullah Muhammad saw dalam mengklasifikasi arti dan tugas pemimpin dalam Islam. Dan ungkapan yang selalu diulang-ulang olehnya, yaitu "dan akan dipinta pertanggungjawabannya" merupakan bukti yang sangat ditekankan untuk menunaikan amanah kepemimpinan dari setiap orang. Maka sungguh menjadi orang yang sangat merugi jika harus bertanggung jawab di hadapan Allah dengan bukti kezhaliman, bukti kedurhakaan, bukti ketakabburan, dan bukti kemunafikan dan ternyata membuat sengsara pada yang dipimpinya ternyata tidak sesuai dengan janji-janji ketika minta dukungan waktu pencalonan, na'udzubillahi min dzalik. Lalu bagaimanakah cara membangun kepribadian yang berdiri di atas pondasi amanah tersebut ;

  1. Selalu Mengingat Allah SWT.

Sebuah ungkapan yang begitu mudah terlontar dari lisan namun sulit dalam pelaksanaanya. Namun bukan berarti kita harus pesimis dalam menerapkannya, karena siapapun yang terus bersusaha pasti akan mendapatkan hasil yang baik. Adapun kata mengingat Allah sering di disebut dengan istilah dzikrullah, dan jika dicari syarah atau penjelasan dari kata tersebut maka didapatkan bahwa alat untuk mengingat Allah itu adalah ; (1) lisan : dalam artian bahwa seluruh ungkapannya adalah kebaikan, tidak ada hinaan, fitnah, kebohongan maupun dusta. (2) akal : yakni seluruh fikirannya harus selalu berkeinginan untuk membangun nilai-nilai peradaban yang baik atau dalam bahasa keagaaman sering disebut dengan masyarkat yang tawaddun, bukannya malah untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok. (3) perbuatan, yakni semua kemampuannya dikeluarkan demi mencapai dan membangun visi yang sudah tertanam di dalam akal tadi, sehingga ketidak adilan, kezhaliman dan penindasan akan dengan sendirinya akan mudah dinegosiasi di dalam kehidupan kita.

Jika ini semua terbangun dengan baik, maka dengan sendirinya Allah yang akan menolong dan membantu serta menenangkan diri kita. Pantas jika kemudian Allah sangat menekankan pentingnya dzikrullah ini, sebagaimana firman-Nya "ala bidzikrillah thatma'innul qulub" (hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang), bukan sekedar hati sang pendzikir tapi juga semua yang berada disekelilingnya merasa nyaman dan aman.

Dalam ungkapan lain, Imam Ali bin Abi Thalib ketika menjelaskan penjelasan tentang iman, yang pertama kali ia sebutkan adalah "al-khauf bi al-Jalil" hendaknya takutlah kepada Allah. Takut yang dibangun bukan seperti takutnya kita dengan segala hal yang menyeramkan dan menakutkan, akan tetapi takut jika Allah akan meninggalkan, naudzubillah. Sesungguhnya hanya dengan bersama-Nya lah kebutuhan tertinggi kita, apalah fungsi kekayaan jika Allah meninggalkan kita, apalah fungsi kekuasaan jika hanya akan membuat-Mu ya Allah jauh dari kami, maka sesungguhnya hanya Engkaulah tujuan kami.

Ketika visi ini yang dibangun di dalam diri maka apakah masih akan ada politik kotor dalam kepemimpinan kita. Mungkinkah kehendak untuk korupsi masih akan hadir, apakah perasaan sombong dan takabur akan mudah kita telan di dalam diri kita ? Tentunya tidak, karena Sang Maha Suci yakni Allah pasti akan menjaga siapapun yang telah mensucikan kepribadiannya. Namun jika tidak, maka inilah sama seperti yang telah dijelaskan oleh Allah di dalam firmannya, ketika ada suatu kaum yang diberikan kelebihan segalanya, namun karena ia abaikan Allah dalam dirinya maka dengan begitu mudah pula Allah menghancurkan mereka. Lihat surat al-Nahl ayat 112.

Artinya : "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat."

Langkah selanjutnya adalah mengenai pengendalian diri dalam gairah cantik dan megahnya kursi kekuasaan, yakni ;

      2.  Jangan Meminta-Minta Menjadi Pemimpin.

Mengenai hal ini, Rasulullah saw pernah menasehati Abu Dzar yang saat itu meminta salah satu jabatan sebagai seorang Qadhi atau Hakim, padahal ia juga adalah seseorang yang dekat dengan Rasulullah saw, Beliau bersabda; "Sesungguhnya engkau ini lemah, sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya" [HR Muslim].

Ungkapan Rasulullah saw di atas sejalan dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadanya melalui sejarah Nabi Allah yakni Yusuf as. di dalam al-Qur'an, di mana ketika seorang Raja memintanya untuk menghadap dan diberikan jabatan tinggi di kerajaannya, namun ia (Nabi Yusuf as) tidak menerimanya, namun ia memberikan masukan kepada sang raja agar ia dapat duduk di pos yang memang menjadi keahliannya, dan bukan mencari tempat-tempat "basah" yang kemudian memberikan keuntungan pribadinya semata. Adapun kriteria kemampuan diri itu adalah, ikhlas, amanah, memiliki keunggulan dari kompetitor lainnya, dan jika wewenang itu digunakan oleh orang lain maka akan memunculkan bencana dan keterpurukan. Lihat Tafsir QS Yusuf ayat 55.

Ungkapan lain yang dapat kita gunakan sebagai bahan ajar kehidupan kita adalah hadits Rasulullah yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah ra. yakni ;

Artinya : "jika suatu pekerjaan diberikan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya."

Pemirsa, sesungguhnya kemampuan untuk memimpin itu adalah anugrah sekaligus laknat, anugrah jika dijalankan secara profesional namun menjadi laknat ketika hanya kebutuhan syahwat dan perut yang dikedepankan. Selanjutnya adalah,

         3.  Kuat dan Penuh Dengan Cinta.

Istilah kuat di ambil dari al-Qur'an yang dikenal dengan "al-qawiy al-amin" kuat dan amanah. Imam al-Thabari di dalam kitabnya Tafsir al-Thabari menjelaskan bahwa kata "al-amin" maksudnya adalah Kuat secara fisik dan juga kuat secara intelktual. Artinya, seorang pemimpin harus mampu bergerak cepat dalam memimpin demi kesejahteraan siapapun yang dipimpinnya, dan secara intelektual menunjukkan bahwa seorang pemimpin selain harus kerja keras tapi juga harus kerja cerdas.

Mengenai hal ini, saya teringat dengan ungkapan Khalifah kedua umat Islam yakni Umar bin Khattab ra., bahwa "keadaan kalian (rakyat) adalah bergantung dengan keadaanku, jika kalian semua baik maka sesungguhnya aku berusaha untuk itu, namun jika kalian rusak, maka aku yang paling bertanggung jawab tentang hal itu". Sungguh demikian seorang pemimpin sejati, adapun yang terjadi saat ini adalah, "jika semua baik itu dariku, tapi jika rusak maka itu kesalahan bawahanku", al-'Iyadzu billah.

Adapun tentang rasa cinta atau kasih sayang seorang pemimpin kepada rakyatnya digambarkan oleh Rasulullah beserta para khalifahnya melalui ciuman sayang kepada anak-anak. Dalam hal ini, dikisahkan bahwa pada suatu hari ada seseorang yang dipanggil oleh Umar untuk diangkat menjadi pemimpin di salah satu negeri Islam, ketika ia melihat Umar sedang menciumi dan bersenda gurau dengan anak-anaknya, lalu ia bertanya tentang prilaku Umar tersebut. Umar-pun menjawab dengan sebuah pertanyaan, "apakah engkau tidak pernah melakukan hal seperti ini ?" dan dijawab "tidak pernah", maka pada saat itu juga ia mengatakan, "kalau begitu aku tidak jadi mengangkatmu jadi amir, karena rahmat Allah sangat jauh darimu".

Ungkapan terahir Umar sangatlah menggugah, di mana Rahmat Allah jauh dari orang-orang yang tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang. Artinya, sinergitas antara pemimpin dengan rakyat dapat dibangun jika sang pemimpin mampu menyayangi siapapun yang akan bekerja bersamanya. Karena meskipun sang pemimpin begitu hebat namun rakyatnya membenci maka tidak ada guna kehebatannya bagi rakyat.

        4.  Jangan Mengambil Kesempatan Melalui Jalur Kedekatan Emosional.

Rasulullah saw telah bersabda; "barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat, sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhai, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin". [HR. al-Hakim]. Umar bin Khatab juga pernah berkata; "Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu, karena rasa cinta atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas pertimbangan itu, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin".

Sungguh tegas ungkapan para petinggi awal Islam ini dalam menegaskan tingginya amanah kepemimpinan. Amanah yang kecil hubungannya dengan manusia namun begitu besar di hadapan Allah. Oleh karenanya, jika yang menjadi petimbangan agung dalam menetapkan para pemimpin adalah karena faktor kedekatan emosi, maka begitu banyak orang yang akan tersakiti khusus bagi mereka yang memang lebih berhak untuk duduk di sana. Dalam hal ini, ada sebuah kaidah berpikir di dalam materi ushul fiqh yakni menelaah dari makna tersirat atau yang dikenal dengan istilah mafhum mukhalafah untuk menelaah prilaku negatif di atas.

Objek kajian dari materi ini adalah adanya dosa jariah bagi yang mengangkat siapapun karena faktor emosi dan bahkan orang yang bukan ahlinya sedangkan ada yang lebih berhak untuk duduk di sana. Dasar awalnya sebagai materi mafhum muwafaqah atau pemahaman yang tersurat adalah hadits tentang amal jariah, di mana amal tersebut akan terus mengalir bagi siapapun yang memberikan manfaat positif bagi semua orang atau sosial. Artinya, jika ada yang memberikan kemudharatan sosial secara tersetruktur, maka dosanya akan terus mengalir meskipun ia telah meninggal dunia, inilah pemahaman terbalik dari tersurat yakni pemahaman tersirat atau yang disebut dengan mafhum mukhalafah, wal'iadzu billah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Rasulullah Muhammad saw ; "barang siapa dalam Islam melestariakan tradisi yang buruk, maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang melaksankan, sesudahnya tanpa menguarangi dosa-dosa mereka sedikitpun" [HR. Muslim].

Inilah sebahagian kecil kajian ke-Islaman tentang amanah kepemimpinan dalam Islam, semoga dalam perjalan waktu kita ini, Allah swt terus memberikan bimbingan-Nya kepada kita sehingga dapat terlepas dari murka-Nya, amin ya rabbal 'alamin.