JAKARTA, 60MENIT.COM - KPK Harus
Menyidik Parpol Yang Diduga Menerima Suap E-KTP agar MK dapat membubarkannya
By Yusril
Ihza Mahendra
Dakwaan
tindak pidana korupsi e-KTP yang kini mulai disidangkan, diduga bukan hanya
melibatkan terdakwa mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, tetapi juga
melibatkan politisi terkemuka dari berbagai partai politik. Terdakwa Irman
bahkan menyebutkan beberapa partai politik, termasuk parpol yang sedang
berkuasa sekarang, turut menikmati uang suap proyek e-KTP yang diduga merugikan
negara sekitar 2,3 trilyun dari nilai proyek sebesar 5,9 trilyun itu. Besarnya
nilai uang yang digunakan untuk menyuap, menunjukkan kasus ini merupakan kasus
besar yang mempermalukan bangsa dan negara dan karenanya kasus ini harus
diungkapkan sampaj tuntas.
KPK tentu
tidak akan berhenti mengungkapkan kasus ini pada Irman dan Sugiharto dan juga
sejumlah politisi, tetapi juga wajib menyidik keterlibatan parpol dalam perkara
tindak pidana korupsi ini. Parpol adalah instrumen politik sangat penting dalam
sistem politik dan demokrasi kita di bawah UUD 45. Tanpa parpol, takkan ada
pemilu legislatif dan pilkada. Bahkan tanpa parpol, mustahil akan ada pemilihan
presiden dan wakil presiden, karena hanya parpol yang dapat mencalonkan
pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Karena
parpol merupakan instrumen politik yang sangat penting di negara ini, maka adanya
parpol yang bersih, berwibawa dan bebas KKN seperti yg digagas di awal
reformasi adalah suatu keniscayaan. Tanpa itu, negara ini akan tenggelam
dalam kesuraman. Ekonomi akan runtuh, demokrasi akan terkubur dan integrasi
bangsa akan menjadi pertaruhan. Disinilah peran penting KPK sebagai badan anti
korupsi. KPK bukan hanya harus membersikan penyelenggara negara dari korusi,
tapi juga wajib menindak kejahatan korporasi, yang melibatkan partai dalam
tindak pidana korupsi.
Dalam
beberapa hari belakangan ini banyak wartawan bertanya kepada saya tentang
apakah MK bisa membubarkan parpol yang diduga terlibat suap kasus e-KTP. Jawab
saya, masalah ini cukup panjang dan berliku. Saya adalah orang yang dulu
mewakili Presiden dalam mengajukan dan membahas RUU Perubahan UU Tipikor 31/99
dan membahas RUU MK dengan DPR sampai selesai, menyadari rumitnya penegakan
hukum terkait masalah ini. UU Tipikor memberi kewenangan kepada aparat penegak
hukum temasuk KPK untuk menyidik kejahatan korporasi. Termasuk kategori korporasi
adalah parpol, yang jika terlibat dalam kejahatan, maka pimpinannya dapat
dituntut, diadili dan dihukum.
Mahkamah
Konstitusi, berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konsitusi,
berwenang untuk memutus perkara pembubaran parpol. Parpol bisa dibubarkan jika
asas dan ideologi serta kegiatan2 parpol itu bertentangan dengan UUD 1945.
Memang menjadi pertanyaan, apakah jika partai terlibat korupsi, parpol tersebut
dapat dibubarkan MK dengan alasan prilakunya itu bertentangan dengan UUD 45?
Kalau
dilihat dari perspektif hukum pidana, terkait kejahatan korporasi, maka
jika korporasi tsb terbukti melakukan kejahatan, maka yang dijatuhi pidana
adalah pimpinannya. Korporasinya sendiri tidak otomatis bubar, begitu juga
halnya jika parpol terbukti korupsi, maka pimpinannya yang dijatuhi hukuman.
Sementara partainya sendiri tidak otomatis bubar, karena yang berwenang
memutuskan parpol bubar atau tidak, bukanlah pengadilan negeri sampai Mahkamah
Agung dalam perkara pidana, tetapi Mahkamah Konstitusi dalam perkara tersendiri
yakni perkara pembubaran partai politik.
MK hanya
dapat menyidangkan perkara pembubaran parpol jika ada permohonan yang diajukan
oleh Pemerintah. Hanya Pemerintah saja menurut Pasal 68 UU MK dan Peraturan MK
No 12/2014, yang mempunyai legal standing untuk mengajukan perkara pembubaran
parpol. Karena itu, apakah mungkin Pemerintah Predisiden Joko Widodo sekarang
ini akan mengambil inisiatif mengajukan permohonan pembubaran parpol, termasuk
membubarkan partanya sendir, PDIP, yang disebut terdakwa Irman turut menikmati
uang suap pekara e-KTP?
Secara
politik, boleh dikatakan mustahil ada Presiden dari suatu partai akan
mengajukan perkara pembubaran partainya sendiri ke MK. Presiden manapun hanya
mungkin melakukan itu jika, pertama, ada putusan pengadilan yg telah
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan partainya secara sah dan meyakinkan
terbukti melakukan korupsi (kejahatan korporasi) dan pimpinannya dijatuhi
hukuman. Kedua, jika ada desakan publik dan desakan politik yang begitu keras,
yang mendesak Presiden untuk mengambil langkah mengajukan perkara pembubaran
partai yang telah terbukti melakukan korupsi ke Mahkamah Konstitusi.
Karena itu,
kita menunggu langkah KPK yang sekarang tengah mendakwa Irman dan Sugiharto ke
Pengadilan Tipikor, untuk juga menyidik dan menuntut baik politisi maupun
parpol yang diduga ikut menikmati uang suap kasus e-KTP. Jika semua mereka,
baik pribadi maupun korporasi, dalam hal ini parpol yang terlibat, terbukti
bersalah, itulah saatnya Presiden, Entah Joko Widodo atau bukan nantinya, untuk
mengajukan perkara pembubaran parpol tersebut ke MK.
Langkah
pembubaran itu sangat penting bukan saja untuk pembelajaran politik dan
demokrasi, tetapi juga untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih
baik di masa datang. MK memang sangat perlu untuk memutuskan bahwa parpol yg
melakukan korupsi adalah partai yang melakukan perbuatan yang merusak sendi2
kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar itulah MK menyatakan bahwa
perbuatan parpol tersebut adalah bertentangan dengan UUD 45 dan karenanya cukup
alasan konstitusional untuk membubarkannya.*** REALIS ; MAULANA