-->

Header Menu

HARIAN 60 MENIT | BAROMETER JAWA BARAT
Cari Berita

60Menit.co.id

Advertisement


Invisible Hand Dibalik Pilgub Jabar Oleh Wagoen

60menit.com
Rabu, 18 Oktober 2017



BANDUNG, 60MENIT.COM - Jelang pilgub Jabar 2018 manuver politik terus dilakukan, baik oleh para balon maupun partai politik guna mencari formulasi terbaik dalam rangka pemenangan kontestasi pilgub Jabar.

Formulasi-formulasi tersebut menurut analis politik UNJANI Dr. Wawan Gunawan akan terus berubah seiring komunikasi antar balon dengan parpol. Disisi lain, hasil survey juga sangat mempengaruhi keputusan partai dalam mengusung balon. "Parpol akan cenderung hati-hati dan alot dalam memutuskan balon yang diusung, karena secara politis irisannya akan mengarah pada pilpres 2019."

Saat ini, lanjut analis yang akrab disapa wagoen, bebrapa partai politik telah membangun komunikasi untuk berkoalisi, seperti koalisi pancasila yang diusung PDIP-Partai GOLKAR-HANURA, disisi lain terdapat gugusan koalisi Partai Demokrat-Gerindra-PAN, adapula koalisi NASDEM-PKB-PPP. Namun koalisi tersebut masih sangat berubah, terutama bagi koalisis yang baru digagas ditingkat DPD. "Keputusan akhir tetap ada dipusat, dan sangat mungkin berbeda dengan yang selama ini diusung oleh DPD masing-masing parpol."

Menurut wagoen hal yang perlu dicermati dalam kondisi tersebut adalah bagaimana untung rugi jika keputusan akhir parpol berbeda dengan yang diperjuangkan kader partai ditingkat daerah. "Ada 'tangan tak terlihat' yang akan turut bermain dalam setiap gelaran politik. Dan ini pengaruhnya sangat menentukan." Jelasnya.

Secara teori 'tangan tak terlihat atau invisible hand' dipopulerkan Adam Smith yang dalam teorinya menitikberatkan kebebasan menggunakan kekuatan ekonomi dalam meraih kepuasan atau pemenuhan hak individu. Dalam konteks tersebut menurut wagoen kekuatan ekonomi akan berpengaruh dalam menentukan peta dan arah politik pada pilkada Jabar.

"Besarnya biaya politik dalam pilkada langsung tidak sebanding dengan kekuatan finansial para balon yang maju dalam kontestasi, sehingga untuk menutupinya perlu peran serta pemodal yang tentunya tidak begitu saja diberikan. Ada transaksi, tawar-menawar, tidak ada makan siang gratis dalam istilah politiknya." Sambung wagoen.

Para pemodal memiliki kepentingan dalam mengembangkan bisnisnya disuatu negara atau daerah. Disatu sisi ada kandidat yg memerlukan bantuan finansial untuk keluar jadi pemenang dalam kontestasi. Keduanya bertemu dan menjalin hubungan saling menguntungkan. "Bukan hal aneh jika kelak pembangunan dipandang lebih mementingkan salah satu golongan." Terangnya.

Keberadaan invisible hand, lanjutnya, bisa jadi tidak selaras dengan garis perjuangan yang diusung kader partai ditingkat bawah. Jika ini terjadi maka ada kecenderungan mesin partai tidak berjalan maksimal, kendati masih dapat disiasati dengan berbagai bentuk kompensasi, tapi untuk beberapa kader militan yang memegang teguh ideologi hal ini akan sangat mengganggu, "bisa jadi destruktif dan terjadi penggembosan didalam."

Partai politik akan cenderung memberikan dukungan mesin politik penuh jika salah seorang kadernya maju dalam kontestasi. Tetapi sayangnya tidak semua parpol memiliki kader yang kuat untuk bersaing, seperti pada pilgub Jabar parpol besar seperti PDIP, GERINDRA, PKS tidak memiliki calon potensial. Demikian halnya parpol menengah. "Balon yang populer dan elektabilitasnya tinggi justru dari non partai seperti Ridwan Kamil, Dedy Mizwar dan Aa Gym."

Dalam setiap hajatan politik, tidak ada parpol yang ikut kontestasi untuk kalah. Dengan kata lain, parpol akan cenderung mendukung balon dengan elektabilitas tinggi (menurut survey), dan boleh jadi berbeda dengan garis perjuangan yang diusung kader didaerah.

"Seperti beberapa waktu lalu, kader Golkar dihebohkan beredarnya surat dukungan untuk Ridwan Kamil, walau kemudian dibantah dan dianggap bodong, namun beredarnya surat tersebut menimbulkan reaksi penolakan yang cukup keras dari jajaran pengurus DPD kota/kabupaten yang selama ini memperjuangkan  Ketua DPD Jabar partai Golkar Dedi Mulyadi.

Kendati demikian bukan tidak mungkin keputusan akhir Golkar tidak mencalonkan Dedi Mulyadi jika nilai jualnya lemah."

Setiap partai politik akan mempertimbangkan nilai jual balon yang akan diusung, sambungnya. Baik nilai jual dimata pemilih maupun, dan terutama pemodal. Balon yang memiliki nilai jual tinggi akan cenderung didukung dan akan diperjuangkan untuk menang, kendati bukan kader maupun berbeda garis perjuangan.

"Kepentingan partai politik adalah kekuasaan dan untuk meraihnya akan dilakukan berbagai upaya, sekalipun itu harus mengorbankan kader dan berkolisi dengan rente ekonomi." Tegasnya.

Besarnya biaya politik dalam pilkada langsung mau tidak mau, suka atau tidak telah menyandera ideologi dan garis perjuangan partai yang kapan saja bisa tergadaikan oleh kekuatan ekonomi. Pun halnya para balon yang maju dalam kontestasi lebih merupakan produk kapitalistik yang dikendalikan rente ekonomi.

"Sulit untuk menegakkan pembangunan yang berkeadilan sosial, jika proses politiknya dibangun dari kolusi kaum kapitalis." Tutupnya. //ZHOVE.