Jl. Asia Afrika Depan Savoy Homan |
BANDUNG, 60MENIT.COM - (17-10-2017) Ketika kita masuk ke tengah Kota Bandung bagi siapapun orangnya pasti kepengen berhenti sejenak atau singgah di kota itu untuk menikmati keramahan dan kedamaian kota yang terpancar dari aura yang dikeluarkan kota tersebut, tetapi tidak punya waktu untuk mengeksplor wisata di Bandung? Segera saja menuju jalan yang saat ini sedang menjadi destinasi paling diminati sejagad raya, yaitu Jalan Asia Afrika.
Ada banyak tempat
wisata yang bisa dikunjugi, seperti Wisata Kota Tua, Wisata Sejarah, Wisata
Religi, Wisata Kuliner, Wisata Taman, Wisata Landmark hingga Wisata Belanja
bisa dijangkau dengan jalan kaki.
Hebatnya
lagi, tidak perlu sampai gempor untuk menikmatinya. Dari satu destinasi ke
destinasi lainnya bisa ditempuh hanya dalam waktu sepuluh menit. Tidak percaya?
Yuk, ikuti perjalanan yang saya lakukan baru-baru ini.
1). Jalan
Asia Afrika Saya mulai dari Jalan Asia-Afrika Bandung. Jalan paling tua dan
sangat bersejarah dalam pembentukan Kota Bandung. Letaknya di tengah-tengah
kota, mulai dari perlimaan antara Jalan Ahmad Yani, Jalan Sunda, dan Jalan
Gatot Subroto Bandung.
Tepat di
tengah-tengah perlimaan, ada Tugu Dasa Sila Bandung yang pada dindingnya
tergrafir nama-nama negara yang mengikuti Konfrensi Asia-Afrika.
Jalan
Asia-Afrika membentang kurang lebih 1 km dari perlimaan hingga Jalan Pos. Pasca
peringatan ke-60 Konfrensi Asia-Afrika, Jalan Asia Afrika semakin cantik karena
pada sepanjang trotoarnya berdiri kursi-kursi taman untuk beristirahat para
pejalan kaki, pot-pot bunga, bola-bola dunia, dan lampu-lampu yang didesain
mirip dengan jalan-jalan di Eropa. Bangku-Bangku di Sepanjang Jalan Asia-Afrika
yang Asri.
2). Tugu
Titik Nol Bandung Dari Simpang Lima berhenti di Tugu Titik Nol Bandung. Di
sinilah titik awal mula Kota Bandung dibangun.
Posisinya
tepat berseberangan dengan Hotel Savoy Homan. Hotel bersejarah, tempat para
delegasi Konfrensi Asia Afrika menginap. Tempat ini dijadikan titik nol karena pada
saat Gubernur Jenderal Belanda, Mr. Herman Willem Daendels menyuruh membangun
kota, Daendels menancapkan tongkat. Tanah tempat menancapkan tongkat itulah
yang sekarang menjadi titik nol Kota Bandung.
Di belakang
tugu, ada monumen kepala lokomotif yang dibuat tahun 1900. Hingga sekarang
masih terlihat kokoh dan menjadi salah satu heritage Kota Bandung. Dalam tugu
tertulis tanda CLN 18 dan PDL 18. CNL 18 menunjukan daerah timur Kota Bandung
yang terdekat dengan tugu adalah daerah Cileunyi dengan jarak 18 Km. PDL 18
menunjukan daerah barat Kota bandung yang terdekat dengan tugu adalah
Padalarang dengan jarak 18 Km.
3). Gedung
Merdeka Tidak jauh dari Tugu Titik Nol, ada gedung yang menjadi simbol
perjuangan bangsa dari dua benua, benua Asia dan Afrika. Gedung apa lagi kalau
bukan Gedung Merdeka. Di sinilah, tercipta Dasa Sila Bandung yang menjadi
pedoman bangsa-bangsa terjajah dalam berjuang memperoleh kemerdekaan. Dasa Sila
juga menjadi prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.
Di samping Gedung Merdeka ada Museum Konferensi Asia Afrika yang menyimpan
seluruh kenangan bersejarah dalam Konferensi Asia Afrika (KAA). Sangat pantas,
jika Gedung Merdeka dan Museum KAA wajib dikunjungi untuk mengenang jasa para
pahlawan. Diorama Pembacaan Dasa Sila Bandung di Museum KAA.
4). Jalan
Braga Jalan Braga Bandung tidak jauh dari Gedung Merdeka karena salah satu
pintu Gedung Merdeka berada di Jalan Braga. Tepatnya Jalan Braga Pendek. Pada
tahun 1900-an, Jalan Braga hanyalah jalan kecil di depan pemukiman sunyi,
bahkan dikenal sebagai Jalan Culik karena rawan penculikan. Sekitar tahun
1920-1930-an, jalan mulai ramai setelah banyak pengusaha berkebangsaan Belanda
mendirikan toko, bar, tempat hiburan, dan toko-toko baju serta butik yang menjual
baju dengan rancangan baju dari Paris Perancis. Jalan Braga semakin ramai dan
terkenal. Braga berasal dari Bahasa Sunda Baraga, yang artinya kurang lebih
berjalan menyusuri sungai. Sesuai dengan namanya, Jalan Braga memang berada di
tepian Sungai Cikapundung. Jalan Braga ini pula yang kemudian membuat Bandung
dikenal sebagai Kota Kembang karena banyak kembang (gadis Sunda) bermekaran di
Jalan Braga.
5).
Cikapundung Riverspot Setelah menyusuri Jalan Braga, saya bergegas menuju jalan
di samping kanan Gedung Merdeka, Jalan Cikapundung Timur. Di sana ada area
bekas lapangan parkir yang diubah menjadi taman asri Cikapundung Riverspot.
Dalam area Cikapundung Riverspot ada deretan bangku persegi empat, berwarna
merah menyala yang menggoda untuk segera disinggahi, sekadar melepas lelah atau
menikmati makanan kecil. Tepat di depan bangku-bangku ada undakan-undakan
lantai meliuk-liuk. Di tengah ruang terbuka antara bangku dan undak-undakan ada
lantai bergaris melingkar-lingkar. Kurang lebih berukuran dua meter persegi. Di
sana ada lubang-lubang kecil serta lampu aneka warna. Pada saat-saat tertentu,
dari lubang pipa tersebut meluncur air mancur, yang bergerak mengikuti iringan
musik. Jika malam tiba, saat air mancur tersebut menari-nari mengikuti iringan
musik, terlihat berwarna-warni dan sangat cantik. Cocok sekali untuk relaksasi.
Cikapundung Riverspot di Siang Hari.
6). Masjid
Berarsitek Budaya Tionghoa Tidak jauh dari Cikapundung Riverspot, tepatnya di
Jalan Banceuy No. 8 Bandung ada masjid etnis Tionghoa di Bandung, yaitu Masjid
Al-Imtizaj. Al-Imtizaj dalam bahasa Tionghoa Ronghe, yang dalam bahasa
Indonesia artinya pembauran. Masjid dengan arsitek budaya Tionghoa tersebut
cukup menyita siapa pun yang melintasinya. Gapura masjid berbentuk kelenteng,
di atasnya berdiri kubah. Perpaduan yang cukup indah. Setelah melewati gapura
pengunjung menuruni anak tangga menuju pintu masjid. Bangunan dalam, pada
dinding juga masih tetap mempertahankan budaya Tionghoa, walaupun tulisannya
adalah kalimat syahadat. Masjid ini terbuka untuk siapa pun yang akan
melaksanakan shalat, jadi bukan hanya untuk muslim keturunan saja. Bangunan
Masjid Al-Imtizaj Tetap Mempertahankan Budaya Tionghoa.
7). Penjara
Soekarno Masih satu kompleks dengan Masjid Al-Imtizaj, ada Penjara Banceuy.
Penjara tempat dahulu Bung Karno diasingkan di Bandung. Letaknya di dalam
kompleks pertokoan Bancey dan aksesnya agak sulit. Akan tetapi, sekarang telah
dipugar dan diberi akses dari Jalan Bancey Bandung. Penjara Banceuy dibangun
tahun 1877 oleh Pemerintah Belanda. Ada dua sel berada di sana. Lantai atas
atas untuk tahanan politik, lantai bawah untuk tahanan rakyat jelata. Luas
selnya sangat sempit, hanya 1,5 x 2,5 meter. Dalam penjara yang sangat sempit
inilah Bung Karno menyusun pidato pembelaan yang dikenal dengan Indonesia
Menggugat. Di sini masih tersimpan benda-benda yang pernah digunakan Bung Karno
seperti papan untuk tidur, bantal dari karung goni, selimut, pispot, dan
penerangan seadanya. Sebagai penghormatan, dalam bekas penjara tersebut
dipasang foto Bung Karno, Burung Garuda, Teks Pancasila dengan ejaan lama,
sebuah bendera, serta buku dan koran terbitan lama yang memberitakan pidato
pembelaan Bung Karno. Di atas pintu penjara yang terbuat dari besi berwarna
hitam, ada foto Bung Karno waktu masih muda dan keterangan keberadaan Bung
Karno yang dipenjara sejak tanggal 29 Desember 1929 hingga Desember 1930.
Sekarang, tepat di belakang bekas ruang tahanan Bung Karno, ada patung seorang
laki-laki sedang duduk. Tangan kanannya memegang pena dan tangan kirinya
memegang sebuah buku. Patung perunggu berwarna kuning gelap tersebut
seolah-olah sedang berpikir hendak menulis sesuatu yang sangat penting. Patung
siapa lagi kalau bukan patung Bung Karno. Patung Bung Karno di Belakang Bekas
Penjara.
8). Warung
Kopi Purnama Cukup capai juga mengitari beberapa destinasi, makanya saya
langsung menuju Warung Kopi Purnama untuk melepas lelah. Warung Kopi Purnama,
salah satu warung kopi yang berdiri sejak tahun 1930. Wow, lama sekali ya …
letaknya di Jalan Alkateri No. 22 Bandung. Dari penjara menyebrang Jalan
Banceuy, menyusuri Jalan ABC, lalu masuk Jalan Alkateri No. 22, hanya perlu
waktu sekitar 10 menit. Warung Kopi Purnama memang berada di distrik
perekonomian yang dibangun oleh Belanda. Pertokoan di sana hampir semua
mempertahankan bangunan lama, kalau berubah mungkin sekadar mengganti warna cat
atau menambal tembok yang terkelupas. Masuk ruangan, aroma melayu terasa
sekali. Lihat saja jendela depan yang berukuran besar dan diberi teralis dari
kayu. Meja, kursi, lemari tempat memajang beberapa cemilan, dan empat lampu
bulat yang menggantung dari atap. Masih terasa sekali aroma melayunya. Pada
dinding-dinding bergantung foto-foto bangunan tempo dulu yang mengingatkan
sejarah Kota Bandung, foto-foto artis jaman dulu, dan beberapa kliping liputan
media yang beberapa kertasnya sudah memudar dimakan usia. Warung kopi ini
terkenal dan tetap bertahan karena hingga sekarang masih tetap mempertahankan
cita rasa kopi khas yang dibuat sejak tahun 1930 lalu. Jangan lupa, kalau ke
sini pesan Kopi Susu dan Roti Kukus Selai Sirkaya. Rasanya mantab. Roti Kukus
dan Kopi Susu Lezat di Warung Kopi Purnama.
9). Masjid
Agung dan Alun-Alun Dari Warung Kopi Purnama menuju Masjid Agung dan Alun-Alun
itu tinggal nyebrang Jalan Asia-Afrika, lalu menyusuri pertokoan lama. Tidak
lebih dari 10 menit juga sampai. Kenapa musti mengunjungi Masjid Agung? Karena
ini salah satu masjid tertua di Bandung. Didirikan abad ke-19, tepatnya tahun
1812. Masjid memiliki dua menara kembar setinggi 81 meter. Kita bisa naik
menara untuk melihat Bandung dengan cukup memberikan infak sebesar Rp.2000,-
saja. Luas area kurang lebih 23.448 M2 dengan luas bangunan 8.575 M2. Mampu
menampung 13.000 jamaah. Sekarang alun-alun masjid sudah dipercantik dengan
rumput sintetis dan tamannya ditata sedemikian rupa sehingga menjadi salah satu
tempat yang nyaman untuk duduk-duduk. Tak lengkap rasanya ke Bandung kalau
nggak mampir ke sini. Masjid Agung dan Alun-Alun Bandung Selalu Ramai