-->

Header Menu

HARIAN 60 MENIT | BAROMETER JAWA BARAT
Cari Berita

60Menit.co.id

Advertisement


Erdogan Pemimpin Sejati Dunia Islam, Bukan Raja Abdullah

60menit.com
Senin, 19 Agustus 2013

JAKARTA - Dunia Islam memiliki pemimpin sejati, yaitu Perdana Menteri Turki dan Pemimpin Partai AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan), Recep Tayyib Erdogan (Rajab Tayib Erdogan). Bukan Raja Arab Saudi, Abdullah.

Erdogan memiliki perhatian yang sangat luar biasa terhadap nasib dan kondisi kaum Muslimin di seluruh dunia. Sekalipun, Turki sebagai negara sekuler, sebagaimana dalam konstitusinya, tetapi Turki dan Erdogan memiliki perhatian dan kepedulian yang sangat luar biasa terhadap kaum Muslimin di seluruh dunia. Bukan seperti para raja, perdana menteri, dan pangeran di negara-negara Arab.

Membandingkan antara Erdogan dengan para raja, perdana menteri, dan pangeran Arab, maka seperti bumi dengan langit. Khususnya perhatiannya terhadap nasib dan kondisi yang sekarang dihadapi oleh kaum Muslimin.

Para raja, perdana menteri, pangeran di negara-negara Arab, yang dikenal dengan negara petro-dolar, sangat sedikit perhatian  mereka terhadap nasib dan kondisi yang dialami kaum Muslimin di seluruh dunia.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Kuwait, dan negara Teluk lainnya, bisa menjadi pelopor dan sekaligus pelindung bagi kaum Muslimin di seluruh dunia. Dengan kekayaan yang sangat melimpah yang merupakan anugerah dari Allah Rabbul Alamin melalui "emas hitam" (minyak), mestinya nasib kaum Muslimin dapat berubah.

Kekayaan negara-negara penghasil minyak, khususnya Arab Saudi, UEA, Qatar, dan Kuwait, jumlah kekayaannya mencapai bertriliun-triliun dolar. Sudah tidak bisa ditulis dengan angka lagi. Dengan harga minyak mentah sekarang mencapai $ 100 dolar per/barrel, sesungguhnya kekayaan negara-negara Arab itu sudah tak terhitung lagi.

Tetapi, bandingkan dengan sumbangan dan bantuan yang diberikan oleh para raja, perdana menteri, dan pangaren Arab terhadap kaum Muslimin? Mereka tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekayaan yang mereka miliki.

Kekayaan yang merupakan anugerah dari Allah Rabbul Alamin, seakan menjadi mubazir dan sia-sia belaka. Tidak mendatangkan kemuliaan, izzah, dan berkah bagi kaum Muslimin di seluruh dunia.

Kekayaannya hanya digunakan semacam membeli klub sepak bola Eropa, membeli senjata dari Amerika Serikat, mendatangkan artis Barat, membeli vila-vila dan rumah-rumah eksklusif lainnya, dan berbagai kegiatan yang sangat tidak manfaat bagi kehidupan kaum Muslimin.

Dalam bidang politik dan keamanan, para raja, perdana menteri, dan pangeran Arab itu, mereka sangat kecil perhatiannya terhadap nasib kaum Muslimin.  Termasuk sekarang yang terjadi Suriah.

Seandainya, Arab Saudi, UEA, Qatar, dan Kuwait, mengeluarkan 1 persen dari kekayaannya digunakan membiayai perjuangan para Mujahidin di Suriah, mungkin situasinya sekarang sudah berubah.

Tetapi, para raja, perdana menteri, dan pangeran Arab itu, sangat sedikit menaruh perhatian. Membiarkan saudara Muslimnya di Suriah terus dihancurkan oleh rezim Bashar al-Assad dan sekutu Syiah-Hisbullah.

Dengan sangat jelas, mereka membiarkan saudaranya di Suriah dibantai habis oleh milisi Syiah, dan tak ada yang menaruh perhatian atas nasib mereka.

Membiarkan kaum Muslimin di Suriah, dibantai dan dihancurkan oleh gabungan kekuatan Syiah dari berbagai negara yang sekarang berkerjasama dengan militer rezim Bashar al-Assad.

Para raja, perdana menteri, dan pengaren Arab, mereka tak menaruh perhatian terhadap para Mujahidin di Suriah, karena mereka memiliki pandangan yang sama dengan Amerika Serikat yaitu para pejuang di Suriah itu, tak lain, adalah para teroris Irak, yang lebih berbahaya dibandingkan dengan Bashar al-Assad.

Jadi, kalau para pejuang Suriah, mereka menang, dan mendirikan pemerintahan Islam akan menjadi ancaman para raja, perdana menteri, dan pangeran Arab. Lebih baik membiarkan mereka, kelompok Syiah dan Bashar tetap bertahan dibandingkan dengan membantu para Mujahidin yang  akan menjadi ancaman masa depan mereka.

Tentu, yang paling tragis, kolaborasi para raja, perdana menteri, dan pangeran Arab dengan Barat, sejak mulai jatuhnya Khilafah Otsmaniyah, sampai mendukung militer Mesir yang membantai kaum Muslimin di negeri Spinx.

Raja Abdullah yang menjadi penguasa Arab Saudi dengan pongahnya secara tegas mendukung pembantaian terkutuk yang dilakukan oleh militer Mesir terhadap pendukung Presiden Mursi, dan menyebut Jamaah Ikhwanul Muslimin sebagai teroris.

Bahkan, pasca pembantaian yang dilkukan oleh militer Mesir itu, Raja Abdullah langsung memberikan bantuan kepada rezim militer Mesir, yaitu uang tunai, sebesar $ 5 miliar  dollar!!! Sungguh sangat terkutuk. Membantu militer Mesir yang sudah membunuhi ribuan Muslim, dan melukai puluhan ribu lainnya.

Bandingkan dengan Perdana Menteri Turki dan Pemimpin Partai AKP, Recep Tayyib Erdogan, yang menolak mengakui rezim baru di Mesir, dan tetap mengakui Presiden Mohamad Mursi, sebagai presiden yang sah Mesir. Erdogan juga mengutuk pembantaian sipil oleh militer Mesir, dan menewaskan ribuan Muslim dan puluhan ribu lainnya yang luka.

Seluruh rakyat Turki melakukan aksi mendukung Presiden Mursi, mulai dari Istambul, Ankara, sampai ke pelosok Turki. Melakukan shalat ghaib. Rakyat Turki bersatu padu mendukung Mursi. Rakyat Turki mengutuk pembantaian yang dilakukan oleh militer terhadap para pendukung Presiden Mursi.

Erdogan mengatakan, bahwa Masjid Rabbaa al-Adawiyah menjadi saksi atas kekejaman militer, dan menjadi simbol bagi perjuangan melawan militer dan kebengisan yang biadab. Erdogan terus menggelorakan perjuangan kaum Muslimin Mesir melalui dukungannya.

Erdogan juga mengatakan bahwa Musa selalu oposisi terhadap Fir'aun, menggambarkan antara Jamaah Ikhwanul Muslimin yang selalu ditindas oleh militer Mesir sepanjang sejarah.

Sampai-sampai Erdogan, dalam pernyataannya, sangat luar biasa, menegaskan, "Andaikata kepemimpinan  Mursi dimusnahkan, syuhada Otsmaniyyah akan datang di bumi para Anbiya "Mesir", tegasnya.

Begitu agungnya jiwa Erdogan sebagai pemimpin yang memiliki perhatian dan keprihatinan atas nasib yang dialami oleh saudaranya di Mesir.

Sekarang, Turki menanggung lebih 300.000 pengungsi Suriah. Pemerintah Turki mengeluarkan dana yang tidak sedikit bagi kebutuhan sehari-hari para  pengungsi Suriah diperbatasan Turki-Suriah.

Turki ikut terlibat aktif dalam membantu  perjuangan para Mujahidin Suriah yang sekarang  harus berperang melawan kekuatan tentara Suriah yang dibantu milisi Syiah.

Pertemuan kelompok-kelompok pejuang pembebasan Suriah berlangsung di Turki. Termasuk Gerakan-Gerakan Islam yang dinegaranya diberangus dan diperangi, mereka melangsungkan pertemuan di Istambul, Turki.

Ketika, terjadi kelaparan di Somalia, Erdogan, isterinya Aminah, anaknya Sumayyah,  dan Menlu Turki, Ahmed Davotuglu bersama para menteri lainnya, dan lembaga amal seperti IHH, terbang ke Mogadishu, ibukota Somalia, dan memberikan bantuan kepada rakyat Somalia yang kelaparan sebesar $ 500 juta dollar. Padahal Turki bukan negara petro-dollar.

Ketika, Rohingya dihancurkan oleh rezim Budha, dibunuhi, dan dibakar semua fasilitas hidup mereka dimusnahkan, isteri Erdogan, Aminah ditemani Menlu Ahmed Davotuglu terbang  ke Myanmar, dan langsung bertemu dengan para pengungsi. Aminah memeluk ibu-ibu, sambil mencucurkan air matanya.

Adakah ini dilakukan para isteri raja dan pangeran Arab? Adakah para raja Arab, perdana Menteri dan pangaren Arab yang datang ke Rohingya, Somalia, dan tempat-tempat kelaparan dan tragedi lainnya?

Tentu, semuanya masih ada yang lebih besar lagi, yaitu perhatian Erdogan terhadap rakyat Palestina. Ketika Gaza di invasi Israel tahun 2008, Erdogan sangat marah terhadap Presiden Israel Shimon Peres, saat bertemu di Davos, Swiss, tahun 2009.

Erdogan berusaha membebaskan rakyat Gaza yang sudah diembargo selama oleh Israel yang sudah berlangsung tahun 2006. Turki mengirimkan kapal bantuan Mavi Marmara, yang kemudian di serang oleh pasukan khusus Israel, dan menewaskan sejumlah aktivis kemanusiaan Turki.

Kemudian, Turki menarik duta besar dari Tel Aviv, menurunkan hubungan diplomatiknya dengan Israel, sampai ke tingkat yang paling rendah, yaitu hanya diwakili seorang kuasa usaha.

Selanjutnya, Turki membatalkan kerjasama dalam bentuk apapun termasuk bidang pertahanan dengan Israel, dan mengakhiri semua bentuk kerjasama intelijen dengan Israel. Padahal, Turki dahulunya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Israel, dan menjadi sekutunya.

Sampai sekarang hubungan diplomatik dengan Israel masih tetap dingin. Meskipun, Amerika Serikat terus berusaha membujuk Turki agar menormalisir kembali hubungan dengan Israel, tetapi Turki tetap bergeming.

Erdogan tidak peduli dengan tekanan Amerika Serikat yang terus membujuk Turki agar menormalisir hubungan diplomatik dengan Israel. Sampai sekarang. Semua tekanan politik dan diplomatik, termasuk kunjungan Menlu AS, John Kerry, tak mengubah sikap Ankara menerima Zionis-Israel,  sampai negara itu memperlakukan rakyat Palestina bermartabat.

Erdogan dan Presiden Abdullah Gul berulangkali bertemu dengan para pemimpin Hamas, seperti Kepala Biro Politik Hamas, Khalid Misy'al dan Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniyah. Antara pemimpin Hamas dan Turki, mirip saudara yang memiliki hubungan darah yang sangat dekat. Nampak dalam pertemuan yang berlangsung di berbagai momen penting, termasuk di Istana Presiden di Topkapi, Istambul.

Semestinya, bulan depan ini, Erdogan dan rombongan akan berkunjung ke Gaza, tetapi rencana itu dibatalkan oleh militer Mesir. Mereka menolak kedatangan Erdogan, dan menolak memberikan jaminan keamanan. Begitu cintanya Erdogan terhadap saudaranya yang berada di Gaza.

Turki mengeluarkan jutaan dolar, pasca invasi Israel ke Gaza tahun 2011, dan pemerintah Turki bersama dengan lembaga kemanusiaan lainnya, sangat aktive membantu Muslim di Gaza dengan sepenuh hati.

Turki bukan hanya membangun rumah sakit, tetapi juga infrastruktur lainnya, yang sangat diperlukan oleh rakyat Gaza. Sudah lebih dari $ 500 juta dollar yang diberikan bantuan oleh pemerintan Turki dan lembaga kemanusiaan kepada rakyat Gaza. Turki juga melobi Amerika Serikat agar mau mengakui kemerdekaan Palestina.

Adakah ini dilakukan para pemimpin Arab terhadap Palestina. Tak kelihatan secara nyata. Kekayaan yang bertriliun dollar itu, hanya menumpuk di bank-bank di Barat, dan hanya membuat bankir Yahudi menjadi kaya, terutama para bankir Zionis, yang menguasai sektor perbankan.

Sementara rakyat Palestina di Gaza sangat menderita, dan dibiarkan dihancurkan oleh Mesir dan Israel. Mereka sangat menderita. Terus menerus diserang oleh Zionis-Israel. Rakyat Gaza yang diblokade itu, caranya mendapatkan pasokan dari Mesir melalui terowongan-terowonga bawah tanah. Sungguh sangat tragis rakyat Palestina.

Erdogan pemimpin Dunia Islam yang sejati, bukan Raja Abdullah dari Kerajaan Arab Saudi, yang tak memiliki kepedulian terhadap nasib kaum Muslimin yang sekarang ini terzalimi oleh oleh kekuatan Barat. Membiarkan saudaranya tertindas dan dihancurkan oleh Barat. Sampai dengan sangat tega mengatakan Jamaah Ikhwanul Muslimin adalah teroris.

Memang, Erdogan dan Turki layak menjadi pemimpin Dunia Islam, karena mewarisi sejarah besar yang pernah ditinggalkan oleh Khilafah Otsmaniyah, yang pernah memimpin dunia. Darah kepemimpin itu masih terus mengalir di dalam tubuh para pemimpin Turki. Seperti yang  ada pada Sultan Mohamad al-Fatih yang mengalahkan Bizantiyum, dan darah itu sekarang mengalir di tubuh Erdogan.

Sementara itu, Raja Abdullah yang masih keturunan Dinasti Saud, tak lain, penguasa yang pernah  memberontak terhadap Turki Otsmani, karena dipengaruhi oleh Jenderal Allenby (penjajah Inggris), dan memisahkan dari Turki, menjadi negara yang terpisah dari Otsmaniy. Sejarah itu terus berulang lagi.

Jazirah Arab bagian dari kekuasaan Kekhalifahan Turki Otsmaniy, sebuah kekhalifahan umat Islam dunia yang wilayahnya sampai ke Aceh.

Dengan bantuan Lawrence dan jaringannya, sebuah suku yang melakukan pemberontakan (bughot) terhadap Kekhalifahan Turki Otsmaniy dan mendirikan kerajaan yang terpisah, lepas, dari wilayah kekhalifahan Islam itu.

Sejarahwan Inggris, Martin Gilbert, di dalam tulisannya"Lawrence of Arabia was a Zionist" seperti yang dimuat di Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007, menyebut Lawrence sebagai agen Zionisme.

Sejarah pun menyatakan, hancurnya Kekhalifahan Turki Otsmani ini pada tahun 1924 merupakan akibat dari infiltrasi Zionisme setelah Sultan Mahmud II menolak keinginan Theodore Hertzl menyerahkan wilayah Palestina untuk bangsa Zionis-Yahudi.

Operasi penghancuran Kekhalifahan Turki Otsmani dilakukan Zionis bersamaan waktunya dengan mendukung pembrontakan Klan Saud terhadap Kekalifahan Utsmaniyah, lewat Lawrence of Arabia.

Sekarang, seperti yang terjadi dalam dekade-dekade terakhir ini, bagaimana kerajaan-kerajaan Arab itu, menjadikan kafir musyrik (Yahudi dan Nasrani) yaitu Amerika dan Israel, sebagai pelindung dan sesembahan mereka dalam segala hal. Inilah yang mengakibatkan terjadinya bencana di dunia Islam.

Arab Saudi, yang sekarang mewarisi begitu banyak kenikmatan yang diberikan oleh Allah Rabbul Alamin, kenyataannya tak begitu bermanfaat bagi dunia Islam.

Gelar yang disandang Raja Arab Saudi, sebagai "Khadimul Haramain" (pelayan dua tempat suci), yang mestinya membawa kemuliaan bagi seluruh kaum Muslimin, tetapi ternyata mereka hanya menjadi "khadimul" (pelayan) bagi Amerika Serikat dan Zionis-Israel, sambil ikut memerangi gerakan-gerakan yang ingin menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Wallahu'alam. (voa-islam)