-->

Header Menu

HARIAN 60 MENIT | BAROMETER JAWA BARAT
Cari Berita

60Menit.co.id

Advertisement


Indonesia Dicengkeram Neoliberalisme dan Neoimperialisme

60menit.com
Sabtu, 20 Juni 2015

Jika kita mau melihat Indonesia, maka akan tampak hamparan negeri dengan limpahan kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Namun sayang, mengapa limpahan kekayaan alam itu belum dapat dinikmati rakyat Indonesia? Rakyat di negeri ini justru hidup dalam kondisi yang tertindas dan sengsara. Tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di berbagai bidang yang lainnya seperti politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dsb.

Mengapa kondisi seperti ini dapat menimpa Indonesia? Jawabannya adalah: semua kondisi ini disebabkan karena Indonesia saat ini tengah berada dalam kungkungan neoliberalisme dan neoimperialisme yang makin luas dan makin mencengkeram.

Apakah neoliberalisme itu? Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor publik seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta.

Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat (perusahaan) baik domestik maupun asing.

Di sisi lain, gelombang demokratisasi di segala bidang pasca Reformasi, khususnya di bidang politik dengan ditetapkannya model Pemilu langsung untuk kepala daerah dan presiden serta pemilihan anggota legislatif berdasar suara terbanyak, telah memberikan kesempatan kepada kekuatan kapitalis global untuk makin menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Dengan kekuatan dana besarnya, mereka masuk dalam kontestasi politik di Indonesia. Harapannya, melalui orang-orang yang didukung, mereka bisa turut menentukan pemilihan pejabat publik dan memberikan arah kebijakan ke depan. Bagi politikus pragmatis, tak jadi soal menggadaikan kewenangan politik, yang penting mereka terpilih. Karena itu pasca Reformasi banyak sekali lahir kebijakan-kebijakan dan peraturan perundangan yang sangat liberal dan kental dipengaruhi kepentingan asing.

Keputusan rezim Jokowi-JK yang bergegas menaikkan harga BBM, misalnya, adalah bukti kebijakan yang sangat sarat kepentingan asing. Maksud sesungguhnya dari kebijakan itu adalah pemberlakuan liberalisasi migas secara total. Rezim Jokowi-JK mencabut subsidi BBM dan menetapkan harga sesuai dengan harga pasar. Inilah yang dimaui oleh perusahaan migas asing agar mereka bisa leluasa masuk di sektor niaga BBM. Ini bisnis yang luar biasa besar. Mereka mengambil minyak di Indonesia, lalu diolah dan dijual di Indonesia dengan harga internasional. Setiap tahun, perusahaan migas asing diperkirakan bisa meraup untung tak kurang dari Rp 150 triliun.

Di lapangan legislatif, intervensi asing juga terjadi dengan sangat nyata. Ada lebih dari 76 UU yang draft-nya diberikan dari pihak asing, seperti UU Migas, UU PM, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Dari fakta-fakta inilah kita menyebut bahwa negeri ini juga sedang dalam ancaman neoimperialisme.

Oleh karena itu, neoimperialisme dapat kita katakan sebagai penjajahan cara baru yang ditempuh oleh negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dulu dikenal dengan semangat  gold (kepentingan penguasaan sumberdaya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misionaris Kristiani). Meski mungkin kepentingan yang ketiga (gospel) kini tidak begitu menonjol, kepentingan pertama dan kedua ( golddan glory) nyata sekali masih berjalan.

Neoliberalisme dan neoimperialisme ini berdampak sangat buruk bagi kita semua. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang makin menjadi-jadi, dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi SDA di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik, seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain.

Demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan saat kampanye atau sebelum Pemilu. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti PT Freeport, misalnya, adalah bukti nyata aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal.

Oleh karena itulah, jelas sekali negeri ini harus segera diselamatkan. Tak ada pilihan lain kecuali wajib diselamatkan dengan Islam, yakni dengan penerapan syariah dan Khilafah.

Alhasil, Save Indonesia with Sharia and Khilafah. Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah. (ali/hti)