-->

Header Menu

HARIAN 60 MENIT | BAROMETER JAWA BARAT
Cari Berita

60Menit.co.id

Advertisement


Keteladanan Pemimpin Bagaikan Aliran Mata Air Dari Puncak Gunung

60menit.com
Minggu, 17 September 2017

Zhovena ( Pemred 60Menit.Com )
BANDUNG, 60 MENIT.COM - (17-09-2017) Mari kita pakai hukum alam (ayat ayat kauniyah) dalam menjelaskan keadaan bangsa kita hari ini. Perhatikan, jika air yang mengalir dari mata air di puncak gunung itu bersih dan bening, maka otomatis akan menyapu bersih sungai di dataran yang lebih rendah yang berlumpur menjadi aliran air yang bersih, bening dan murni.

Sebaliknya, jika dari mata air di puncak gunung itu mengalir penuh dengan lumpur dan kotoran, maka aliran air tersebut otomatis mengotori sungai di dataran yang lebih rendah yang sebelumnya dialiri oleh air yang bersih dan bening.

Demikianlah makna dari keteladanan seorang pemimpin. Jika para pemimpin sebuah bangsa yang bagaikan air di mata air di puncak gunung, bertindak menjadi teladan dengan berperilaku jujur, tidak munafik, tidak menipu, tidak ingkar janji, tidak merampok uang negara, tidak haus kekuasaan dan tidak serakah harta, maka perubahan ke arah sebuah tatanan masyarakat yang bermoral, adil dan sejahtera akan dapat dengan mudah dicapai.

Demikian juga sebaliknya, jika seorang pemimpin itu munafik, tukang tipu, merampok uang negara, ingkar janji, haus kekuasaan dan serakah jabatan, maka otomatis akan mengotori dengan sendirinya kehidupan sebuah masyarakat yang awalnya masih memegang teguh nilai-nilai dan moralitas.

Jika menggunakan hukum sebab akibat, maka kita sudah bisa menyimpulkan keadaan bangsa kita hari ini dan ke depan. Jika para pemimpin yang lahir itu dari kandungan sebuah sistem yang mentradisikan ingkar janji, menipu, munafik dan khianat, serakah jabatan dan harta, maka wujud sebuah masyarakat sebagai akibatnya sudah bisa kita pastikan, yaitu rusaknya tatanan.

Karena itu membenahi keadaan sebuah masyarakat, sudah pasti harus dimulai dengan membersihkan mata air di puncak gunungnya, yaitu membenahi para pemimpinnya. Lalu selanjutnya menata aliran sungai atau sistem negaranya, agar bisa menjamin dan menjernihkan kembali kehidupan sebuah masyarakat yang dikotori oleh lumpur pengkhianatan, kemunafikan dan keserakahan.

Baik atau buruknya sebuah masyarakat atau bangsa sangat tergantung kepada para pemimpinnya, baik para umaranya  maupun ulamanya, Jika akhlak dari pimpinan negaranya baik, tidak munafik dan merampok uang negara, para ulama dan rohaniawan nya  tidak gampang dibeli, maka otomatis akan mewarnai kehidupan bangsa atau masyarakatnya menjadi lebih baik. Tapi jika para pemimpin negaranya  berlomba lomba melakukan kejahatan dengan kebanggaan, serakah jabatan dan harta, para ulamanya terlalu gampang menjual ayat ayat Tuhan, maka tunggulah datang kehancuran bangsa tersebut.

Tentu kita tidak bermaksud membangun surga di muka bumi, di mana segalanya datar dan statis tanpa unsur unsur yang bertentangan. Karena sesunguhnya dunia diciptakan oleh Tuhan dengan dilengkapi segala unsur yang beragam, ada yang positif, tapi ada juga yang negatif, ada 'ying' dan ada 'yang', ada bakteri jahat, tapi ada juga bakteri baik, yang selalu saling melengkapi membentuk dunia.

Unsur positif itu tak identik dengan kebenaran dan kebaikan, demikian juga unsur negatif tidak selalu harus identik dengan kejahatan dan kemunafikan. Semua unsur ciptaan Tuhan pasti baik, bermanfaat dan berfungsi menurut kodrat alamiahnya untuk membentuk dunia dan segala isinya.

Manusialah yang mengubah fungsi atau merekayasa takaran dari setiap unsur alamiah ciptaan Tuhan, baik unsur negatif maupun positif menjadi racun dan kejahatan yang menimbulkan bencana.

Menyimpangkan unsur negatif menjadi sebuah kejahatan adalah melawan kodrat alamiah dari unsur itu diciptakan. Racun yang ada di dalam tubuh ular misalnya adalah kelengkapan alamiah yang disediakan Tuhan yang berfungsi menjadi alat ketahanan alamiah dari setiap ular. Namun, manusia yang menyalahgunakan racun tersebut untuk saling membinasakan satu dengan yang lain.

Demikianlah tugas manusia, harus selalu menjaga kodrat alamiahnya yang diberi akal dan budi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk menjadi khalifah di muka bumi.

Manusia yang berbuat jahat, khianat, rakus, tukang tipu, serakah, adalah manusia yang menyimpang dari kodrat alamiahnya yang ditakdirkan oleh Tuhan, yang berbeda dari binatang, jin dan juga malaikat.

Tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah menjaga kodrat atau takdir alamiahnya manusia, tidak untuk menjadi malaikat yang putih bersih, tidak untuk menjadi setan yang berkhianat, tidak untuk menjadi binatang yang tidak punya akal dan budi.

Tugas manusia adalah menemukan dan menjaga keseimbangan unsur unsur yang disediakan oleh Tuhan di dalam dirinya, baik unsur positif maupun negatif atau unsur ying dengan yang. Demikian juga tugas sebagai khalifah di muka bumi adalah menjaga tegaknya keseimbangan di dalam kehidupan, baik kehidupan sosial maupun kehidupan alam semesta tempatnya hidup.

Hukum keseimbangan, hukum kausalitas (sebab akibat), hukum keragaman, hukum kompatibilitas, hukum siklus dan seleksi kehidupan, dll adalah bagian dari hukum hukum Tuhan yang tidak tertulis (ayat ayat kauniyah) yang membentuk dan  mengatur alam semesta untuk senantiasa berada selalu pada titik keseimbangannya.

Jika keseimbangan alam terganggu akibat ulah tangan manusia, maka akan terjadi bencana alam, banjir, longsor, dll. Jika keseimbangan sosial terganggu, seperti ketimpangan sosial yang makin melebar, maka akan melahirkan bencana sosial seperti amuk massa dan revolusi sosial. Jika keseimbangan ekonomi terganggu maka akan memicu krisis dan resesi ekonomi.

Jika kita mau jujur, yang terjadi pada bangsa kita saat ini adalah terciptanya ketidakseimbangan dalam seluruh sektor dan level kehidupan masyarakat, baik ketidakseimbangan alam (pembakaran lahan tanpa ada hukuman Polri), ketidakseimbangan sosial (ketimpangan yang kian melebar),  maupun ketidakseimbangan ekonomi.

Ingat, walaupun di mata kita NKRI itu harga mati, tapi di mata Tuhan NKRI itu harganya tidak mati. Jika NKRI tak efektif lagi untuk menopang tujuan penciptaan Tuhan di muka bumi, untuk menjaga tegaknya nilai-nilai,  maka setiap saat NKRI bisa saja musnah sebagaimana dimusnahkannya kaum Nuh dan kaum Luth.

Semoga NKRI kita tak berumur pendek, tidak segera musnah ditelan bumi, menjadi artefak, menyusul nasib para pendahulunya, Majapahit dan Sriwijaya yang berumur panjang,  ratusan tahun....amin..!! ( Zhovena ).