-->

Header Menu

HARIAN 60 MENIT | BAROMETER JAWA BARAT
Cari Berita

60Menit.co.id

Advertisement


Marak, Paktik Illegal Mining di Sultra, KPK Diminta Turun Tangan

60menit.com
Selasa, 16 Juni 2020

60menit.com - Drs. Tommy Tiranda

60MENIT.COM, Jakarta | Permasalahan tambang di Provinsi Sulawesi Tenggara ternyata masih menggeliat. Praktik illegal mining atau tambang liar utamanya biji nikel (ore) masih terus berlangsung di beberapa tempat di Sultra. Hanya dengan berbekal IUP (Izin Usaha Pertambangan) sejumlah perusahaan yang sudah berakhir masa berlakunya, tanpa perpanjangan. 

Selain soal IUP, yang sangat riskan tampak di lapangan, berdasarkan pantauan awak media, tidak adanya izin lingkungan berupa AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan). Dugaan maraknya illegal mining ini terjadi seperti di Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Utara, Konawe, Konawe Selatan, Bombana dan lainnya. 

Umumnya perusahaan tambang yang mengelola nikel, IUPnya sudah tidak berlaku. Tapi herannya perusahaan-perusahaan tersebut tetap menambang. IUP yang dimiliki masih berdasarkan SK Bupati setempat. Padahal urusan pertambangan kini sudah diambil-alih Pemprov Sultra. 

Ironisnya, IUP sudah mati, perusahaan bersangkutan masih mengeluarkan SPK untuk Kontraktor Mining sebagai penambang. "Soal SK Bupati yang mengeluarkan IUP kemungkinan sejak 2010, masa transisi atau peralihan dari bupati ke gubernur. Ini yang dimanfaatkan. Makanya coba saja cek IUPnya," ujar sebuah sumber yang layak dipercaya. 

Sumber tersebut enggan disebut namanya. "Waktu masih bupati, masyarakat lokal masih bisa menikmati. Tapi setelah diambil-alih provinsi, mereka tinggal jadi penonton. Celakanya, pemda kabupaten tidak berdaya karena tidak berhak lagi. Di masa transisi itu ada celah illegal mining karena tidak dikontrol pemda setempat," tuturnya lagi.

Kini, perusahaan penambang yang eksis terbilang 'konglomerat' dan leluasa di Sultra. Yang penting "koordinasi" berjalan lancar  Ada beratus nama perusahaan dari hulu hingga hilir. Umumnya IUP mereka sudah mati dan tidak diperpanjang. Mekanisme kerjanya model sindikat alias koboi. Salah satu penambang, Rongan, mengeluhkan hal ini.

Rongan mengaku, pernah menambang tiba-tiba diusir. "Orang Cina saja dari luar Indonesia datang kenapa saya tidak boleh," tuturnya. Beberapa tempat terpantau terjadi illegal mining seperti di Marombo Pantai, Kecamatan Langgikima, Konawe Utara (Komit). Di sana ada PT Bososi Pratama yang kini berkasus. 

Kasusnya kini ditangani pihak Bareskrim Polri terkait IUP dan kawasan Hutan Lindung. Tidak jauh dari Marombo Pantai ada desa Marombo, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Konut. Di Marambo, terdapat PT Masempo Dalle yang kini sedang menambang. Jika ingin ditelusuri, perusahaan milik AT ini juga diduga bermasalah soal IUP. 

Parahnya, cargo ore atau biji nikel yang diperoleh dari proses illegal ini, selain dibeli buyer dari luar, juga ternyata dipasok PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Morosi, Kabupaten Konawe. Konon, transaksi jual-beli ore di VDNI ini makan waktu lama, berminggu bahkan berbulan. Dasar pembayarannya dilakukan berdasarkan COA (Certificate of Analysis) yang dikeluarkan pihak Surveyor Independen. 

Menanggapi soal IUP bermasalah ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan WASINDO (Pengawas Independen Indonesia) Drs. Tommy Tiranda, mempertanyakan alasan tidak diperpanjangnya IUP yang sudah tidak berlaku. "Kenapa perusahaan-perusahaan itu tidak perpanjang masa berlaku IUPnya kalau memang masih mau menambang. Di IUP itu kan ada pungutan pajak untuk negara. Apakah pajaknya sudah berat mereka bayar sehingga tidak sanggup lagi urus perpanjangannya. Jangan begitu," tegas Tommy, ketika dihubungi via handphone, siang ini (16/6). 

Jika memang demikian, IUP tidak diperpanjang karena tunggakan pajak, maka Tommy mengendus banyak perusahaan pertambangan di Sultra menjadi pengemplang pajak. "Kalau modusnya seperti ini maka kegiatan penambangan harus dihentikan. Karena perpanjangan IUP terkait pembayaran pajak. Bagaimana kalau perusahaan itu menambang tidak bayar pajak, ini kerugian negara pak dan tidak bisa dibiarkan," tandas jurnalis senior ini.

Dalam hal ini, karena kondisi tersebut sudah berlangsung lama, Tommy meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar turun tangan. "Tidak ada jalan lain, KPK sudah harus turun memproses. Sudah cukup kerja aparat hukum yang lain. Karena ini sudah menyangkut pendapatan untuk negara dimana jika tidak ditangani secara masif dan intens, akan merugikan negara," beber Tommy. 

(Anto)